1
3
4
"Maaf, untuk orang orang yang pernah tersakiti oleh sikapku. Untuk semua
orang yang pernah aku kecewakan. Kamu, dia dan mereka. Aku minta maaf
sebesar besarnya untuk semua masalah yang aku buat. Untuk semua salahku.Hingga
detik ini, perasaan menyesal memenuhi diriku. Aku tidak tenang dan
berpikir bahwa akulah orang paling jahat. Maaf. Lagi lagi maaf.Ini adalah pesan dan permintaan maaf terakhirku. Clara"
Senyum
licik tersungging dibibirnya setelah selesai menulis kata kata yang
sebenarnya sangat tidak menyentuh. tidak sama sekali. dia tidak pandai
menulis, tapi dia tidak peduli itu. yang paling penting untuknya adalah
harus ada pesan terakhir yang ditulis Clara.
"Kakak, pesannya aku letakkan disini ya? kau tenang saja. mereka pasti menemukannya." ucapnya pada sosok perempuan yang tergantung di tengah kamar dengan lidah terjulur dan mata membelalak. Dia tersenyum melihat kakaknya tanpa nyawa. Hasil kerja keras yang memuaskan.
"Sampaikan salamku pada Dave. Katakan, aku akan menyimpan jantungnya dengan baik."
"Kakak, pesannya aku letakkan disini ya? kau tenang saja. mereka pasti menemukannya." ucapnya pada sosok perempuan yang tergantung di tengah kamar dengan lidah terjulur dan mata membelalak. Dia tersenyum melihat kakaknya tanpa nyawa. Hasil kerja keras yang memuaskan.
"Sampaikan salamku pada Dave. Katakan, aku akan menyimpan jantungnya dengan baik."
2
Re membuka mata. Kamar persegi berukuran 3x3 yang ditempatinya mulai
terang, tanda bahwa hari sudah pagi. Tapi Re masih enggan beranjak dari
tempat tidur meski kantuknya sudah tidak ada lagi. Alasannya, malas.
Tangannya malah meraih handphone yang berada tidak jauh dari kepalanya, hal pertama yang dia lakukan setiap bangun tidur. Pukul O5.28 wib. Masih
terlalu pagi untuk bangun, pikirnya. Lantas dia mulai membuka satu
persatu notifikasi dari akun sosial medianya. Membalas, menghapus
obrolan tak penting—menurutnya--, membaca status. Aktifitas yang biasa
dilakukan jika benda putih tipis bernama Smartphone itu ada ditangannya.
"Gie
12 jam yang lalu melalui Blackberry Smartphone Apps
Melakukan semampuku untuk mendapatkanmu. Beri aku semangat. J
26 suka 1 komentar
Suka.Komentar.Bagikan”
Jantung
Re berpacu dengan cepat secara tiba tiba. Gie. Gie. Gie. Hatinya
menggumamkan nama itu terus menerus. Dia merasa nyeri dan mati rasa
menyerangnya bersamaan. Hanya karna sebaris kata-kata, pikirannya
menjadi tak terarah. Dia juga merasa sesak di waktu yang sama.
Kesimpulannya, Re menyukai orang dengan nama Gie itu. Bahkan Re sangat
menyayanginya. Meski sekarang, perasaan itu menjadi sia-sia.
Dia
beralih membaca status dari teman lainnya, menyukai dan memberi komentar
jika dia merasa perlu. Tapi pikiran sebenarnya tetap tinggal pada Gie.
Dia hanya berusaha untuk tidak terlalu berpikir tentang hal yang
akhirnya akan menyakitinya lebih jauh lagi. Meskipun kenyataannya,
pikirannya sudah melangkah jauh. Berspekulasi sendiri tanpa mengindahkan
perintah hatinya untuk berhenti membuat hipotesis tentang siapa orang
yang dimaksud. Walaupun sebenarnya Re tahu siapa itu. Tapi, dia atau
pikiran tololnya masih saja ingin menyangkal. Atau lebih parahnya,
mengaitkan kejadian-kejadian waktu dulu dan mengira dialah orang itu.
Pikiran bodoh yang entah dia mendapatkannya darimana. Kemungkinan yang
terlalu tolol.
Re meletakkan smartphonenya kembali
kemudian memejamkan mata. Upaya untuk meredam kekacauan pikiran dan
mengalihkannya pada hal lain. Tapi lagi-lagi pikirannya tidak
bekerjasama. Yang terjadi adalah, kilas balik ke waktu dimana Re bebas
dari nyeri dan sesak ini. Ketika dia hanya akan tersenyum dan bahagia
dengan perasaannya. Dan Re tidak bisa mengelak dari apa yang dilakukan
pikirannya. Karna dia benar-benar merindukan saat-saat itu. Senyum itu.
Kehangatan itu. Perhatian itu. Re merindukan semuanya tanpa kecuali. Gie
yang pernah ada untuknya. Gie yang pernah berjanji padanya. Gie yang
pernah perhatian. Gie yang pernah mau mendengarkannya. Gie yang suka
menyanyikan lagu untuknya. Gie yang sering jadi korban cubitannya. Gie
yang marah kalau Re mengeluh dan putus asa. Gie yang menyukai warna biru
dan merah. Semuanya tentang Gie. Re merindukan itu. Sangat. Dan ketika
rindu itu menyapa, nyeri dan sesaknya menjadi berlipat.
Perlahan, airmata itu mengalir melalui sudut matanya yang masih terpejam.
3
Deru nafas yang memburu terdengar dari mulut seorang laki-laki yang
sedang melakukan gerakan push-up. Jantungnya berdetak lebih cepat,
mengimbangi kegiatan yang sedang dia lakukan. Peluhnya merembes keluar
melalui pori-pori tubuhnya yang atletis. Membuat singlet yang dipakainya
basah karna keringat.
"187,188,189.." mulutnya bersuara menghitung gerakan
push up yang sudah dia lakukan. Menginjak hitungan ke-190 gerakannya
melambat. Tangannya gemetar, tidak mampu menahan beban tubuh yang makin
lama makin terasa berat. Akhirnya dia menyerah di hitungan ke-200 dan
menelentangkan tubuhnya diatas lantai, mengatur nafas yang mungkin
hampir saja putus. Pandangannya fokus menatap langit-langit rumahnya
yang tinggi bercat putih. Hingga kemudian sekelebat bayangan membuatnya
kembali merasa sesak.
"Cho Hasoo.." desahannya menyerukan sebuah nama. Nama dari seseorang yang dulu-dan sampai sekarang- sangat berharga untuknya. Laki-laki
itu, Choi Siwon, merasa sekali lagi luka itu menganga. Membiaskan rasa
perih yang menyerangnya sampai ulu hati. Sakitnya terlalu menusuk.
Tangannya bergerak memegang dadanya sendiri begitu dia merasakan pedih itu lagi. Menyesakkan dan menyakitkan.
"Aku selalu berdoa untukmu Hasoo-ah. Semoga kau bahagia dengannya.." kata-katanya terdengar miris. Seperti dipaksa keluar melalui kerongkongannya. Dan untuk yang kesekian kali, tetes bening mengalir dari sudut matanya. Menangis.
Tangannya bergerak memegang dadanya sendiri begitu dia merasakan pedih itu lagi. Menyesakkan dan menyakitkan.
"Aku selalu berdoa untukmu Hasoo-ah. Semoga kau bahagia dengannya.." kata-katanya terdengar miris. Seperti dipaksa keluar melalui kerongkongannya. Dan untuk yang kesekian kali, tetes bening mengalir dari sudut matanya. Menangis.
4
Dedaunan kering jatuh di depan seorang gadis yang tengah berdiri. Rok
seragam yang dipakainya melambai-lambai diterpa angin. Wajahnya
tertekuk, cemberut. Kesal pada laki-laki yang tadi mengajaknya kesini
dan sekarang malah asyik dengan kegiatannya sendiri.
Laki-laki itu menoleh, sepertinya dia baru ingat bahwa dia membawa seorang gadis ketempat ini. Dia tersenyum yang disambut dengusan kesal dari si gadis.
Perlahan, laki-laki itu bangkit mendekati tempat dimana gadis itu berdiri. Gadis itu melengos, tak mau memandang wajah laki-laki yang tengah memasang senyum menawan bak malaikat.
"Kenapa masih diam saja? Katanya kau mau membantuku?" dia berucap lembut disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Ck. Gadis itu berdecak. Baginya, kata-kata lembut nan manis itu sangat memuakkan. Lalu, dia menoleh lagi kearah laki-laki yang masih setia dengan senyumnya itu. Dia menarik nafas..
"Aku memang mau membantumu, tapi bukan MEMBERSIHKAN HALAMAN RUMAHMU. Dasar Menyebalkan!!" gadis itu pergi meninggalkan laki-laki yang masih berdiri dengan tampang yang berubah drastis.
"Hey, ya! Hyoraaa.. Hey!"
Laki-laki itu menoleh, sepertinya dia baru ingat bahwa dia membawa seorang gadis ketempat ini. Dia tersenyum yang disambut dengusan kesal dari si gadis.
Perlahan, laki-laki itu bangkit mendekati tempat dimana gadis itu berdiri. Gadis itu melengos, tak mau memandang wajah laki-laki yang tengah memasang senyum menawan bak malaikat.
"Kenapa masih diam saja? Katanya kau mau membantuku?" dia berucap lembut disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Ck. Gadis itu berdecak. Baginya, kata-kata lembut nan manis itu sangat memuakkan. Lalu, dia menoleh lagi kearah laki-laki yang masih setia dengan senyumnya itu. Dia menarik nafas..
"Aku memang mau membantumu, tapi bukan MEMBERSIHKAN HALAMAN RUMAHMU. Dasar Menyebalkan!!" gadis itu pergi meninggalkan laki-laki yang masih berdiri dengan tampang yang berubah drastis.
"Hey, ya! Hyoraaa.. Hey!"
5
Angin musim semi berhembus menyapu taman. Menerpa dedaunan yang kini
kembali menghijau. Dibawah pohon dekat danau buatan, seorang gadis
tengah duduk disalah satu bangku taman. Kepalanya menunduk, melihat
tangannya yang pucat. Tubuhnya gemetar, begitu juga tangannya. Butiran
bening mulai muncul dari sudut matanya, menetes diatas tangannya yg tak
pernah ia lepas dari tatapannya.
"Bukaan.. bukan akuu.. bukan aku yang membunuhnya.."ucapnya lirih. Dia terus menatap tangan pucatnya yang kini berubah warna.
"Jangan! Bukan aku pembunuhnya!! Hentikan! Aaaaargh"dia berteriak kesakitan namun tak bersuara. Tangan pucatnya kini berubah merah membara, kemudian hitam. Dia meringis kesakitan. Panas dan menusuk-nusuk, yang dirasakan tgnnya sekarang.
"Kumohon hentikan!"serunya lagi. Airmata terus membanjiri wajahnya yg kesakitan. Tangannya mulai berhenti bertransformasi. Dari pucat mulus kini menjadi hitam membusuk. Rasa sakit ditangannya menghilang.
"Itu adalah hukuman yang pantas untuk ELF yang telah melanggar aturan Angel. Kau telah menodai kesucian tanganmu dengan melenyapkan satu nyawa. Maka kau layak dihukum."satu sosok berpakaian putih turun mendekatinya. Gadis itu tak menjawab. Tubuhnya terkulai diatas tanah. Dia tidak sadarkan diri.
"Bukaan.. bukan akuu.. bukan aku yang membunuhnya.."ucapnya lirih. Dia terus menatap tangan pucatnya yang kini berubah warna.
"Jangan! Bukan aku pembunuhnya!! Hentikan! Aaaaargh"dia berteriak kesakitan namun tak bersuara. Tangan pucatnya kini berubah merah membara, kemudian hitam. Dia meringis kesakitan. Panas dan menusuk-nusuk, yang dirasakan tgnnya sekarang.
"Kumohon hentikan!"serunya lagi. Airmata terus membanjiri wajahnya yg kesakitan. Tangannya mulai berhenti bertransformasi. Dari pucat mulus kini menjadi hitam membusuk. Rasa sakit ditangannya menghilang.
"Itu adalah hukuman yang pantas untuk ELF yang telah melanggar aturan Angel. Kau telah menodai kesucian tanganmu dengan melenyapkan satu nyawa. Maka kau layak dihukum."satu sosok berpakaian putih turun mendekatinya. Gadis itu tak menjawab. Tubuhnya terkulai diatas tanah. Dia tidak sadarkan diri.
***
Dan seperti itu lah. XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalin jejak ya. hehe
<(@.@)>